Monday, January 28, 2013


 mengenang tragedi Madiun

kronologi:


Sabtu, 9 April 2005
Pukul 20.30
- Sebanyak 420 Aremania turun di Stasiun KA Madiun dengan menggunakan KA Matarmaja. Mereka berjalan kaki ke stadion.
Pukul 21.00

- Sekelompok Sakeramania sudah di Stadion dan bertemu Aremania.

- Terjadi ketegangan antara dua kelompok suporter tersebut. Beruntung aparat keamanan keamanan sudah mengantisipasinya.

Pukul 23.30
- Sempat terjadi aksi lempar di sekitar perempatan Klegen, Kota Madiun


Minggu, 10 April 2005
Pukul 01.00
- Aremania bersepeda motor konvoi di sekitar stadion dan memancing emosi Sakeramania.

Pukul 05.30
- Terjadi bentrok antarsuporter di Jalan Mastrip. Tepatnya di sekitar stadion dan diwarnai letusan petasan dan aksi lempar bom molotov. Aksi ini sempat membuat kawasan stadion tegang.

Pukul 07.00
- Terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas di Desa Garon Balerejo, Madiun. Akibatnya, seorang Aremania tewas. Kejadian ini menyulut emosi ribuan Aremania yang mulai masuk Madiun.

Pukul 08.00
- Bentrok kedua di sekitar stadion. Dalam bentrok ini seorang Aremania terluka lantaran bom molotov dan sebuah kendaraan angkutan kota Madiun rusak.

Pukul 09.30
- Ribuan Aremania dan Sakeramania mulai berdatangan masuk Madiun.

Pukul 10.00
- Seorang Sakeramania yang melintas di kelompok Aremania di perempatan Klegen dipukuli. Begitu juga dengan dua orang warga Nglames Madiun yang terkena pukulan serta sepeda motornya dirusak.

Pukul 11.00
- Aremania bergerombol di perempatan Klegen dan Jalan Setia Budi.

- Sakeramania dengan menggunakan puluhan bus mulai masuk area parkir stadion di sebelah utara.

Pukul 12.00
- Aremania mulai antri masuk ke stadion. Namun masih ditahan petugas.

Pukul 13.00
- Pintu penonton ekonomi sebelah selatan jebol. Ribuan suporter Aremania masuk tanpa karcis. Aremania kuasai stadion. Sementara ribuan Sakeramania tampak terkonsentrasi di sebelah utara.

Pukul 13.30
- Terjadi aksi perang batu antara Aremania yang berada di dalam stadion dan suporter Sakeramania di area parkir stadion. Jatuh korban luka-luka lantaran kena lemparan batu di kedua belah pihak.

Pukul 14.00
- Sakeramania mencoba masuk ke stadion. Mereka langsung dikejar Aremania yang saat itu menguasai dalam stadion. Aksi lempar batu masih berlangsung.

Pukul 14.15
- Ribuan Aremania mencoba mengejar Sakeramania. Lantaran kalah jumlahnya, Sakeramania berhamburan dan berlari ke arah utara Jalan Parikesit, Jalan Udowo hingga ke Jalan Rimba Raya.

- Aremania pun terus mengejar dan menyebabkan ribuan Sakeramania meninggalkan area Stadion Wilis.

- Di Jalan Parikesit sesekali terlihat korban aksi pelemparan ditandu Aremania untuk mendapatkan pertolongan.

Pukul 14.30
- Sebagai pelampiasan emosi beberapa oknum Aremania menghancurkan mobil dan beberapa bus yang diparkir.

Pukul 14.45
- Panpel, pengawas pertandingan, wasit, perwakilan kedua kesebelasan, dan aparat keamanan melakukan pertemuan di Hotel Bali. Akhirnya dalam pertemuan tersebut disepakati kalau pertandingan antara Persekabpas Wilis FC melawan Arema Malang ditunda hingga waktu yang belum bisa ditentukan.

Pukul 15.00
- Aremania yang menguasai stadion tampak mulai memadati tribun VIP dan ekonomi. Mereka bernyanyi mendesak panpel untuk segera menggelar pertandingan.

Pukul 16.00
- Aremania mulai turun tribun. Kesal lantaran pertandingan batal, mereka melampiaskan dengan merusak fasilitas stadion.

Pukul 17.30
- Aremania berangsur-angsur mulai meninggalkan Stadion dan pulang ke Malang


SAMPEK KAPANPUN SAYA GAK AKAN MELUPAKAN TOUR INI, sakera JANCOK!!!! 

YULI SUMPIL SANG DIRIGEN AREMANIA


YULI Sugianto atau Yuli Sumpil. Demikian lajang kelahiran 14 Juli 1976 ini biasa dipanggil rekan-rekannya sesama Aremania, pendukung fanatik Arema Indonesia. Sumpil menunjukkan kampung tempat ia tinggal, yakni di Jalan Sumpil Gang I, RT 3/RW 4 Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur.
Pemuda nyentrik dengan anting-anting di kedua kupingnya, topi yang tak lepas dari kepala, dan mengenakan kaus Aremania itulah ciri khasnya. Ia selalu semangat dalam membela klub berjuluk ‘Singo Edan’ itu.
Yuli mengawali kiprah sebagai Aremania sudah cukup lama, sejak kelas 5 SD. Ia selalu hadir di lapangan untuk mendukung klub kesayangannya waktu masih berkiprah di Galatama.
Yuli pun mengenang. Kendati tidak memiliki uang untuk membeli tiket, ia tetap berusaha menonton pertandingan secara langsung di Stadion Gajayana Kota Malang . Caranya, dengan ikut penonton dewasa yang bertiket agar bisa masuk di stadion. Menonton pertandingan sepak bola seperti itu dilakoninya hingga SMP.
Ketika usianya beranjak remaja, Yuli semakin berani dan bersemangat. Ia sering nekat meloncat truk agar sampai di kota tujuan tempat Arema berlaga. Dari sinilah, bersama kawan-kawannya yang nekat, kemudian muncul istilah ‘bondo nekat’ (bonek).
Laki-laki muda itu sudah menjadi suporter fanatik klub sepakbola Arema (Arek Malang). Yuli Sugianto adalah salah satu suporter paling populer di kalangan Aremania, sebutan bagi suporter Arema. Bersama suporter Persebaya (Persatuan Sepakbola Surabaya) yang disebut Bonek (bondho nekat/ modal nekat), Aremania terkenal sebagai suporter paling fanatik dalam sejarah sepakbola Indonesia.
Yuli berkisah sudah sejak anak-anak ia selalu berusaha melakukan apa saja demi menonton pertandingan Arema. Semasa duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) misalnya, jika tak ingin terlambat datang ke stadion, ia harus membolos sekolah sore. Dan jika pertandingan berlangsung di luar kota, itu berarti ia harus siap sejak pagi, bersiap menunggu di pinggir jalan raya, dan siap melompat ke dalam bak truk atau mobil angkutan barang lain untuk menuju kota tujuan.
Sekarang Yuli adalah dirigen Aremania. Seorang dirigen, layaknya seorang konduktor dalam pertunjukan orkestra, adalah orang yang memimpin para suporter untuk menyanyi dan menari dalam sebuah pertandingan sepakbola. Seorang dirigen menentukan lagu mana yang harus dinyanyikan dan gerakan tubuh macam apa yang mesti dilakukan. Aremania punya dua dirigen. Selain Yuli juga ada Yosep, yang biasa dipanggil Kepet.
Di kalangan Aremania, dirigen dipilih dengan cara yang tidak terlalu rumit. Tidak ada pemungutan sura yang berlangsung dengan ketat. Seseorang dipilih menjadi dirigen karena penampilan fisiknya yang menarik (ceria, nyentrik, dll.), kemampuannya berkomunikasi dengan suporter lain, dan kemampuannya membangkitkan semangat suporter untuk terus memotivasi tim yang didukungnya. Oleh sejumlah suporter seorang dirigen ditunjuk dengan cara yang sulit dijelaskan, hampir kebetulan saja, sebelum sebuah pertandingan sepakbola dimainkan. Tetapi begitu seorang dirigen terpilih, jabatan itu akan disandangnya terus, tanpa batas waktu yang jelas, sampai ia mengundurkan diri atau kehilangan kemampuan untuk memimpin. Begitulah, tujuh tahun lalu dan Kepet terpilih begitu saja sebagai dirigen Aremania. Dan hanya kepada mereka berdualah 30 ribuan Aremania mau tunduk. “Mungkin saya dipilih karena berambut gondrong dan suka menari sambil memanjat pagar pembatas lapangan. Kalau Kepet mungkin karena ia punya banyak teman. Ia kan tinggal dekat stadion,” kata Yuli.
Di Stadion Gajayana Malang, markas Arema, Yuli dan Kepet mesti berbagi wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaan Yuli adalah tribun bagian timur, tepat di bawah papan skor. Wilayah Kepet adalah tribun bagian selatan. Sementara tribun VIP dibiarkan tanpa dirigen.
Pertandingan sepakbola biasanya dimulai jam 4 sore, tetapi para suporter sudah memadati stadion sejak 2 jam sebelumnya. Mereka memainkan genderang, terompet, menyanyi, menari dan menyulut kembang api dan petasan. Sebelum dirigen datang, atraksi-atraksi ini berlangsung sporadis, dalam kelompok-kelompok kecil, dan tidak kompak. Tetapi begitu mereka melihat kedatangan Yuli dan Kepet, secara otomatis semuanya akan bertepuk tangan dan bertempik-sorak seperti menyambut kedatangan presiden mereka. Yuli dan Kepet tersenyum, dan begitu mereka melambaikan tangan, ribuan suporter ini menjadi lebih tenang. Semua musik, lagu, dan tarian dihentikan. Yuli dan Kepet akan segera menaiki singgasana mereka, yaitu pagar besi pembatas lapangan setinggi 2 meter. Mereka mulai menjalankan tugasnya; sambil berdiri di atas pagar menghadap ke tribun penonton mereka menggerakkan tangan dan kaki, memiringkan dan memutar tubuhnya ke kiri, kanan, depan, dan belakang sebagai alat untuk memberi aba-aba. Ribuan penonton menjadi kompak dan memainkan musik, menyanyi, dan menari. Semuanya mengikuti aba-aba dan contoh gerakan yang dilakukan Yuli dan Kepet.
Sepuluh menit sebelum pertandingan dimulai, Yuli dan Kepet memberi aba-aba berhenti. Kalau mereka sudah menaikkan tangan kanan ke atas, itu artinya tarian akan berhenti dan para suporter akan segera menyanyikan lagu Padamu Negeri.[1] Para pemain memasuki lapangan, wasit meniup peluit, pertandingan segera dimulai, tarian dan lagu dimainkan kembali. Karena atraksi-atraksinya yang menarik, Arema pernah memenangi penghargaan suporter terbaik dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Satu-satunya kelompok suporter besar yang tetap tinggal “liar” adalah Aremania. Klub dan Pemda tidak memberi bantuan dana atau berkeinginan membuat organisasi formal untuk suporter. Para suporter tetap membuat kelompoknya sendiri dengan keinginan mereka sendiri, kelompok-kelompok ini mereka sebut dengan Korwil (Koordinator Wiyalah). Di Malang sekarang ini sekurang-kurangnya ada 125 Korwil Aremania. Tiap Korwil punya seorang ketua yang hanya bertugas mengumpulkan suporter di wilayahnya menjelang Arema bertanding. “Tidak perlu organisasi-organisasian. Kalau ada organisasi itu repot, nanti malah diatur-atur, disuruh begini, disuruh begitu, bayar ini, bayar itu. Apalagi kalau sampai dikait-kaitkan sama partai politik segala,” kata Ponidi—dikenal sebagai Tembel—Ketua Korwil Stasiun. Meski tiap Korwil punya ciri khas sendiri, yang ditandai dengan bendera, spanduk, seragam, dan dandanannya, komando di stadion tetap ada di tangan dirigen. Hanya Yuli dan Kepet yang mampu mengatur dan menenangkan merea. “Pengurus klub atau walikota sekalipun tidak akan bisa ada artinya bagi suporter. Dia tak akan mampu mengatur 30 ribu orang. Tapi begitu Yuli atau Kepet yang ngomong, ya semuanya manut,” jelas Tembel.
Yuli adalah pemuda dari keluarga miskin yang tinggal di sebuah kampung di bagian timur Malang. Sebelum menjadi dirigen Aremania, sejak lulus dari sebuah Madarasah Aliyah, Yuli bekerja sebagai pencuci mikrolet—angkutan umum dalam kota. Ia biasa bekerja dari jam 4 sore hingga jam 12 malam, dari pekerjaannya, dalam sehari Yuli bisa memeroleh 10 ribu hingga 15 ribu rupiah.
Sejak menjadi dirigen, Yuli praktis berhenti bekerja. Menurutnya pilihan ini adalah saran orangtuanya yang tak tahan melihat Yuli menghabiskan hampir semua waktunya untuk mengurusi sepakbola, sepakbola, dan sepakbola. Ia kini menggantungkan hidupnya pada orangtuanya. Bapaknya, Asip, bekerja sebagai tukang kayu panggilan. Semenntara ibunya, Juwariyah, mendapatkan uang dengan menjual makanan rumahan bikinannya ke warung-warung di sekitar kampungnya. Yuli mengatakan setiap hari mendapat uang saku antara 500 hingga 2000 rupiah dari bapak atau ibunya. “Yul, ini ada sedikit uang untuk beli rokok,” kata Yuli menirukan ibunya.
Dalam kiprahnya sebagai seorang dirigen, sempat membuat seorang insan perfilman untuk mengangkatnya dalam sebuah film, yaitu  The Conductors, film dokumenter karya Andi Bachtiar Yusuf.
The Conductors berusaha untuk mengungkap sisi lain dari Addie MS (Twilite Orchestra), AG Sudibyo (Paduan Suara Mahasiswa UI) dan Yuli “Sumpil” (Aremania), menampilkan kiat dan semangat dari anak manusia yang sangat mencintai profesinya tersebut. Film yang telah diputar pada ajang Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2007 lalu tersebut merupakan karya dokumenter kedua pria yang lebih akrab dipanggil “Ucup” setelah The Jak (2007). Dan setelah premiere di Jakarta, akan diputar di Bandung, Malang, Semarang, Yogyakarta, Jember, Purwokerto, Pusan (Korea Selatan).
“Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau Kristen, di sini semuanya bisa sama,”
Jika Liga sedang berjalan—yang berarti setiap minggu hampir selalu saja ada pertandingan sepakbola—Yuli harus menyisihkan sedikit jatah uang rokoknya agar bisa membeli tikat dan masuk stadion. Tetapi kalau kondisi keuangan keluarganya yang benar-benar sulit, Yuli kadang terpaksa menjual asesoris-asesoris suporternya untuk bisa membeli tiket. Tak jarang ia harus merelakan kaus atau syal kesayangannya dengan harga 10 hingga 20 ribu rupiah. “Sebenarnya sedih juga, karena barang-barang itu punya nilai sejarah bagi saya. Tapi saya akan lebih sedih lagi kalau tidak bisa masuk ke stadion dan menjadi dirigen bagi teman-teman,” katanya. Kadang-kadang Yuli juga membantu menjual tiket pertandingan. Beberapa hari sebelum pertandingan Yuli akan mengambil tiket di Mess Arema. Untuk tiap tiket seharga 10 ribu rupiah bisa dijualnya ia mendapat bagian 10 persen atau seribu rupiah. Agar bisa nonton pertandingan sekurang-kurangnya Yuli harus bisa menjual 10 tiket.
Seperti kebanyakan pemuda kota yang tinggal di kampung padat dan miskin, Yuli gemar sepakbola dan sering terlibat tawuran (perkelahian massal) antarkampung. “Buat saya dulu tawuran adalah bagian dari sepakbola. Sepakbola nggak ada tawuran seperti sepakbola banci,” kata Yuli. Ia kemudian bercerita, beberapa tahun lalu—sebelum menjadi dirigen—bersama 30 temannya ia datang ke Jakarta untuk melihat Arema bertanding. Ia berangkat dari rumah dengan sudah menyiapkan sebilah pedang. “Waktu itu, ini perlengkapan standar,” katanya. Di Jakarta ia terlibat bentrokan dengan kelompok Bonek di depan Stasiun Pasar Senen. Mula-mula hanya saling melempar batu, tapi kemudian menjadi saling kejar, memukul dengan potongan kayu atau besi, bahkan hingga sabetan pedang. “Yang saya ingat, keesokan harinya saya baca di koran ternyata ada 3 orang Bonek yang mati. Sementara kami semua selamat,” katanya.
Yuli kini ingin melupakan masa lalunya. Di ruang tamu rumahnya yang sempit, ia memasang fotonya ketika bersalaman dengan Ketua PSSI Agum Gumelar. Di foto itu, Yuli—berambut gondrong dan berkaus Arema warna biru—tampak tersenyum bangga. Katanya, “Saya diundang di acara pembukaan Liga Indonesia dan dikirimi tiket pesawat untuk hadir mewakili suporter”.
Karena tak bekerja, sehari-hari Yuli menghabiskan waktunya dengan nongkrong sja. Saya ingat waktu bertemu dengannya pertama kali tiga tahun lalu, ia tengah nongkrong di Salon Cimenk yang terletak beberapa ratus meter saja dari rumahnya. Didik, pemilik salon ini, adalah teman Yuli sesama Aremania.  Untuk urusan dandanan Yuli mengaku memang sering dibantu Didik. Sekali mencat rambut ia cuma akan membayar 10 atau 20 ribu. Tapi Yuli lebih sering tak membayar, karena ia memang jarang punya cukup uang. Suatu ketika karena merasa sungkan dan terlalu sering tidak membayar, sebelum berangkat ke stadion Yuli pernah mencat saja rambut gondrongnya dengan cat kayu, warna biru. Jelasnya, “Agar mudah membersihkannya, saya lumuri dulu rambut saya dengan minyak goreng, setelah itu baru saya cat. Saya ingin selalu bisa menarik perhatian di lapangan.”[ad#kumpulblogger]
Yuli punya cukup banyak koleksi asesoris Aremania.  Yuli punya macam-macam kaus Arema, dari kaus seperti yang dipakai para pemain—warna biru putih—sampai kaus-kaus bergambar kepala singa, lambang Arema, yang memang punya julukan sebagai tim Singo Edan (singa gila). Kebanyakan kaus macam ini bertuliskan “Kera Ngalam” atau “Ongis Nade”. Keduanya adalah bahasa slang Malang yang berarti “Arek Malang” dan “Singo Edan”.
“Saya biasanya pakai kaus Arema, tapi bawahannya bisa ganti-ganti, yang penting warna dan modelnya menyolok mata. Seorang teman suporter pernah memberi saya pakaian Skotlandia,” kata Yuli . Sebentar kemudian ia mengeluarkan lagi beberapa pakaian, dari yang berbahan kulit sintetis hingga kain sarung dan kain perca. Hampir semua pakaian ini dirancang sendiri oleh Yuli. Biasanya ia mendapat ide model-model pakaian baru setelah menonton pertandingan sepakbola Liga Italia atau Inggris di televisi.
Saya membuka-buka koleksi foto Yuli. Ia memberikan penjelasan detil untuk tiap foto yang saya lihat. Ketika saya sampai pada sebuh foto yang memerlihatkan sepasang lelaki dan perempuan berbaju pengantin, sementara di sekelilingnya adalah laki-laki dan perempuan yang semuanya berkaos biru Arema, Yuli menjelaskan bahwa itu adalah acara pernikahan seorang Aremania. Ia malah menceritakan tentang seorang Aremania lain yang naik haji ke Mekkah dengan membawa syal dan bendera Arema.
Yuli Sumpil, atraksimu dan kiprahmu sebagai dirigen bagi Aremania kala Arema bertanding akan selalu dinanti. Dirimu sebagai dirigen bagai seorang conductor dalam orkestra Aremania, orkestra yang menampilkan nyanyian, atraksi dan tarian Aremania.
Yuli Sumpil, dari sekian nyanyian seluruh Aremania yang kau pimpin selama ini, kami masih sering mendengar nyanyian yang bernada Rasis. Kami juga berharap dengan kepemimpinanmu di atas tribun akan bisa membawa nyanyian yang lebih sering hanya untuk mendukung skuad Arema yang sedang berjuang, dan tidak lebih sering menyanyikan tentang tetangga sebelah, biarlah mereka tetap J*****k, karena biar kita tidak menyebut mereka J*****k, mereka tetap J*****k juga. Oyi kan?
Biodata:
Nama lengkap : Yuli Sugianto
Nama lapangan: Yuli Sumpil
Tempat, tanggal lahir: Malang, 14 Juli 1976
Pendidikan: MA (SMA) Al-Amin Blimbing, Kota Malang
Ayah: Asip
Ibu: Djuariyah
Saudara: Anak ketujuh dari sembilan bersaudara
Keterlibatan di sepak bola:
- Menjadi suporter sejak kelas 5 SD
- Menjadi Dirijen Aremania sejak 1998-1999
Penghargaan :
- Terbaik film dokumenter The Conductors
- Mengantarkan Aremania menjadi The Best Supporter Piala Indonesia 2006

Awal Perseteruan Aremania Vs Bonek
Dalam sejarah sepak bola dimana saja, yang namanya permusuhan "mendarah daging" antar suporter pasti ada. Sebut saja seperti La Viola vs Juventini atau suporter Blackburn vs fans Manchester United. Di Indonesia pun, permusuhan antar suporter yang mendarah daging itu juga ada lo Ngalamers, salah satunya yakni Aremania vs Bonek. Aremania yang merupakan pendukung setia Arema Indonesia dan Bonek (suporter Persebaya Surabaya), dikenal seringkali berseteru sampai seakan-akan istilah "damai" akan cukup tabu untuk diharapkan terjadi diantara keduanya. Hal ini bisa sangat jelas dilihat ketika Kapolda Jawa Timur sampai turun tangan untuk mengambil kebijakan yang menegaskan kalau misal tim Arema tengah bertandang ke Surabaya untuk pertandingan, maka Aremania dilarang keras untuk ikut datang ke Surabaya. Begitupun sebaliknya, saat Persebaya Surabaya bertanding ke Malang, Bonek dilarang keras untuk menginjakkan kaki di Kota Malang ini.
Tentulah setiap perseteruan atau selisih paham selalu diawali dengan sebuah kisah dan alasan. Begitu pula dengan perseteruan yang terjadi diantara dua suporter yang sangat eksis dan terkenal di Nusantara itu. Lantas, tahukah Ngalamers apa yang mendalangi permusuhan antara Aremania dengan Bonek tersebut? - Berikut adalah beberapa opini yang berhasil HaloMalang kumpulkan dari beberapa sumber terkait pembahasan ini.
1. Tawuran saat ada konser di Tambaksari. Kejadian pertama bermula saat ada konser Kantata Takwa di Tambaksari, Surabaya pada 23 Januari 1990. Tepat sekitar 30 menit pertama saat konser dimulai, di depan panggung mulai 'dikuasai' arek-arek Malang. Mereka bersorak meneriakkan "Arema.. Arema.. Arema..". Arek-arek Surabaya yang kebetulan menjadi tuan rumah pun harus minggir dan 'terkalahan'. Namun tidak lama kemudian, arek-arek Surabaya kembali dengan membawa rombongan lebih banyak lagi dan berusaha 'memukul mundur' arek-arek Malang hingga keluar dari Tambaksari. Di luar stadion, tawuran pun tak terelakkan dan terus berlanjut sampai di Stasiun Gubeng, Ngalamers. Tawuran serupa juga kembali terjadi di bulan Juni 1992 pada konser Sepultara yang kebetulan juga diadakan di Tambaksari. Saat itu, arek Surabaya sudah siap menguasai depan panggung mulai awal. Arek Malang bahkan langsung dihalau begitu masuk Tambaksari. Tak lama kemudian, tawuran pun kembali terjadi.
2. Pemberitaan media yang dianggap tidak adil. Kecemburuan suporter Malang pada pemberitaan media yang ada di Jawa Timur (Jatim) kala itu. Hal itu dipicu dengan sangat kecilnya pemberitaan di media ketika Arema atau Persema Malang menang dalam pertandingan. Sementara pemberitaan Persebaya sangat besar dan hampir selalu menjadi headline meski klub yang didukung Bonek itu hanya melakukan latihan rutin atau sekedar mengisi waktu senggang.
3. Pendahulu Persebaya yang sangat meremehkan Malang. Pendahulu Persebaya seperti H. Barmen dan Mudayat cukup dikenal sangat meremehkan dan merendahkan tim-tim Malang. Mereka mengatakan kalau tidak akan ada ceritanya Persebaya bisa dikalahkan tim-tim asal Malang, menahan imbang saja mereka (tim-tim Malang) sangat kesulitan. Pernyataan itu bahkan ditulis di media. Hal ini tentunya sangat menyakiti dan menyulut sensitivitas suporter Malang yang merasa direndahkan (orang Surabaya) dan dianaktirikan (media terbesar Jatim). Terlebih, ada isu bahwa suporter Surabaya akan bertandang ke Malang. Merasa tertantang, Arema sudah siap mencegat Bonek di Lawang. Namun sampai pertigaan Karanglo, Singosari, Arema yang hendak ke utara dihalau dan ditangkapi polisi/Kodim. Akhirnya, sebagian suporter melampiaskan kemarahannya dengan memecahkan kaca-kaca mobil plat L. Sementara di Gajayana sendiri, bentuk perlawanan terhadap dedengkot Surabaya itu diwujudkan dalam spanduk-spanduk bertuliskan "Kalahkan Persebaya, Bungkam Mulut Besar Barmen dan Mudayat" atau "Barmen & Mudayat Haram Masuk Kota Malang".
4. Pemberitaan yang terkesan mengadu domba. Judul berita di media yang cukup berbau 'mengadu domba' pun juga sempat memicu perseteruan antar kedua suporter tim sepak bola Malang dan Surabaya itu. Seperti contohnya "Pemain Persebaya Dijadikan Sansak Hidup Pemain Persema" dalam laga Persema vs Persebaya, yang memang sebelumnya diprediksi akan panas menyusul pernyataan Barmen dan Mudayat. Dalam laga itu, Persema melakukan pemanasan di gawang selatan dan Persebaya di gawang utara. Setelah koin tost, ternyata posisinya berpindah (Persema ke utara, Persebaya ke selatan). Pada perpindahan itulah beberapa pemain Persema ada yang terlihat sengaja menabrak pemain Persebaya hingga ada yang terjatuh. Inilah yang ditulis media tersebut dengan "Pemain Persebaya Dijadikan Sansak Hidup Pemain Persema". Tentulah pemberitaan tersebut sanggup menyulut api kemarahan dan dendam pada arek-arek Surabaya, Ngalamers.
5. Pendahulu suporter sepakbola Malang yang bangga dicap "perusuh" dan "pemberani". Suporter sepakbola Malang pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an masih berasal dari peleburan para geng-geng yang sebelumnya sangat gemar tawuran antar-kampung hingga cukup banyak memakan korban. Dengan dimediatori Bung Ovan Tobing, mereka akhirnya berdamai dan pada akhirnya menyatu dalam bendera "AREMA" (tanpa 'NIA'), yang artinya "Arek Malang". Merekalah yang akhirnya sangat setia mendukung tim asal Malang (baik Persema maupun Arema). Dengan latar belakang seperti itu, suporter Malang (masih) sangat bangga jika dicap "perusuh" dan "pemberani".
Bagaimana pendapat Ngalamers akan poin-poin penyebab awal perseteruan antar Aremania vs Bonek yang dimunculkan tersebut?
Sejarah Aremania: zaman Ligina

▪ Sekitar pertengahan tahun 1990-an istilah Aremania mulai dipakai sebagai nama suporter Arema. Sementara itu geng-geng di Malang mulai luntur.

▪ Anggota geng yang pada akhir tahun 1980-an masih muda, di pertengahan tahun 1990-an sudah lebih dewasa. Munculnya generasi geng baru di Malang tidak terjadi karena faktor perubahan sepak bola di Indonesia dan upaya pencegahan dari beberapa tokoh Aremania.

▪ Pada tahun 1990-an pemain asing mulai bermain untuk klub-klub Liga Indonesia. Pada tahun 1994 klub Galatama dan Perserikatan digabungkan menjadi Ligina. Setelah itu klub-klub dibagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah timur dan wilayah barat. Pada akhir Ligina juara Ligina ditentukan dengan putaran ‘play-off’. Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) mulai mendorong perkembangan Liga yang lebih profesional.

▪ Nama Aremania serta simbol Singo Edan diciptakan oleh beberapa tokoh Aremania sehingga dapat mempersatukan suporter Arema. Suporter Arema didorong tokoh Aremania menjadi rukun dan sportif.

▪ Namun proses itu mengalami hambatan. Persaingan keras antara suporter Malang dan Surabaya terjadi sampai sekarang. Konflik antara dua kelompok suporter ini di Malang masih terjadi sampai tahun 1999.

▪ Insiden di luar Malang terjadi sampai tahun 2001. Yang paling parah setelah zaman Galatama terjadi di Sidoarjo pada Mei tahun 2001.

Aremania: Bukan Organisasi

▪ Persatuan Aremania bersdasarkan pada ide inklusif, yaitu bahwa semua suporter Arema bersaudara. Sistem ketertiban suporter tergantung pada pengurus suporter, Koordinator Wilayah atau korwil. Tokoh korwil adalah pengurus suporter di sebuah kampung atau daerah.

▪ Tokoh korwil mempunyai hubungan dengan RT setempat, Polresta Malang dan PS Arema. Kalau Aremania ingin menyaksikan pertandingan di luar Malang harus meminta izin terlebih dahulu.

▪ Anggota korwil yang membayar iuran mendapatkan dua kartu identitas Aremania. Anggota Aremania pasti mendapatkan tiket pertandingan melalui tokoh korwil dengan harga loket. Kalau anggota ikut tur dia diakui sebagai Aremania di berbagai tempat karena memakai kartu identitas tersebut.

▪ Manfaat untuk para suporter adalah mereka menjadi sangat tertib di kandang sendiri atau di kota klub lawan. Karena sistem organisasi itu, ribuan suporter bisa datang ke Jakarta atau Gresik tanpa ada masalah serius apapun.

▪ Di antara korwil yang ada di Malang tidak ada ketua umum. Begitu banyak korwil kadang-kadang tidak ada kesepakatan. Dan usulan bahwa Aremania seharusnya dilembagakan ditolak. Aremania tidak dapat dengan mudah disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk tujuan tertentu karena Aremania bukan sebuah organisasi. Aremania tergantung pada tujuan dasar untuk mendukung Arema. Kalau Aremania disalahgunakan barangkali persatuannya akan hancur.

Atraksi Pertandingan Arema

Suporter Arema telah membuat atraksi pertandingan selain pertandingan sepak bola itu sendiri. Yang tersebut dibawah ini adalah hal-hal yang terjadi sebelum dan selama berlangsungnya pertandingan:

12.00 Daerah di sekitar stadion Gajayana kandang tim Singo Edan mulai didekati suporter.

14.00 Sektor ekonomi mulai ramai sekali.

14.30 Tribun VIP mulai ramai.

15.00 Dirigen Aremania tiba di stadion. Di belakang gawang utara dirigennya bernama Yuli. Di gawang selatan dirigennya bernama Kapet. Mereka memulai semacam latihan sorak-sorai, lagu dan dansa yang terus berlangsung sampai akhir pertandingan.

15.20 Pemain-pemain masuk lapangan untuk latihan. Nama setiap pemain dipanggil satu persatu oleh penyiar. Pemain Arema menerima tepuk tangan yang meriah.

15.25 Penonton semua berdiri, mengangkat syalnya dan dengan kompak menyanyikan lagu ‘Padamu Negeri’.

15.30 Permulaan pertandingan sepak bola.

Di belakang gawang terjadi semacam pesta suporter. Ada beberapa pemain tambur yang membantu dirigen. Ada bermacam-macam lagu dinyanyikan suporter sambil menirukan gerak-gerik dirigen. Selama dansa itu, suporter melambaikan tangan dan syal atau bendera sambil melompat-lompat.

17.30 Pertandingan telah berakhir dan Aremania pulang. Walaupun kalah Aremania tidak membuat kericuhan.

Aremanita: Kehadiran suporter perempuan

▪ Selama Ligina VIII di stadion Gajayana tidak ada masalah yang lebih serius dari lemparan botol plastik.

▪ Sudah begitu aman bagi suporter perempuan untuk hadir. Lagipula mereka berkumpul atas nama Aremanita. Aremanita berusaha untuk menghapus tanggapan negatif terhadap suporter perempuan di Malang.

Awal mula berdirinya PS Arema

(Arema Football Club/Persatuan Sepak Bola Arema nama resminya) lahir pada tanggal 11 Agustus 1987, dengan semangat mengembangkan persepak bolaan di Malang. Pada masa itu, tim asal Malang lainnya Persema Malang bagai sebuah magnet bagi arek Malang. Stadion Gajayana –home base klub pemerintah itu– selalu disesaki penonton. Dimana posisi Arema waktu itu? Yang pasti, klub itu belum mengejawantah sebagai sebuah komunitas sepak bola. Ia masih jadi sebuah “utopia”.
Adalah Acub Zaenal mantan Gubernur Irian Jaya ke-3 dan mantan pengurus PSSI periode 80-an yang kali pertama punya andil menelurkan pemikiran membentuk klub Galatama di kota Malang setelah sebelumnya membangun klub Perkesa 78. Jasa “Sang Jenderal” tidak terlepas dari peran Ovan Tobing, humas Persema saat itu. “Saya masih ingat, waktu itu Pak Acub Zainal saya undang ke Stadion Gajayana ketika Persema lawan Perseden Denpasar,” ujar Ovan. Melihat penonon membludak, Acub yang kala itu menjadi Administratur Galatama lantas mencetuskan keinginan mendirikan klub galatama. “You bikin saja (klub) Galatama di Malang,” kata Ovan menirukan ucapan Acub.
Beberapa hari setelah itu, Ir Lucky Acub Zaenal –putra Mayjen TNI (purn) Acub Zaenal– mendatangi Ovan di rumahnya, Jl. Gajahmada 15. Ia diantar Dice Dirgantara yang sebelumnya sudah kenal dengan dirinya. “Waktu itu Lucky masih suka tinju dan otomotif,” katanya. Dari pembicaraan itu, Ovan menegaskan kalau dirinya tidak punya dana untuk membentuk klub galatama. “Saya hanya punya pemain,” ujarnya. Maka dipertemukanlah Lucky dengan Dirk “Derek” Sutrisno (Alm), pendiri klub Armada ‘86.
Berkat hubungan baik antara Dirk dengan wartawan olahraga di Malang, khususnya sepakbola, maka SIWO PWI Malang mengadakan seminar sehari untuk melihat "sudah saatnyakah Kota Malang memiliki klub Galatama?" Drs. Heruyogi sebagai Ketua SIWO dan Drs. Bambang Bes (Sekretaris SIWO) menggelar seminar itu di Balai Wartawan Jl. Raya Langsep Kota Malang. Temanya "Klub Galatama dan Kota Malang", dengan nara sumber al; Bp. Acub Zainal (Administratur Galatama), dari Pengda PSSI Jatim, Komda PSSI Kota Malang, Dr. Ubud Salim, MA. Acara itu dibuka Bp Walikota Tom Uripan (Alm). Hasil atau rekomendasi yang didapatkan dari seminar: Kota Malang dinilai sudah layak memiliki sebuah klub Galatana yang professional.

Harus diakui, awal berdirinya Arema tidak lepas dari peran besar Derek dengan Armada 86-nya. Nama Arema awalnya adalah Aremada-gabungan dari Armada dan Arema. Namun nama itu tidak bisa langgeng. Beberapa bulan kemudian diganti menjadi Arema`86. Sayang, upaya Derek untuk mempertahankan klub Galatama Arema`86 banyak mengalami hambatan, bahkan tim yang diharapkan mampu berkiprah di kancah Galatama VIII itu mulai terseok-seok karena dihimpit kesulitan dana.
Dari sinilah, Acub Zaenal dan Lucky lantas mengambil alih dan berusaha menyelamatkan Arema`86 supaya tetap survive. Setelah diambil alih, nama Arema`86 akhirnya diubah menjadi Arema dan ditetapkan pula berdirinya Arema Galatama pada 11 Agustus 1987 sesuai dengan akte notaris Pramu Haryono SH–almarhum–No 58. “Penetapan tanggal 11 Agustus 1987 itu, seperti air mengalir begitu saja, tidak berdasar penetapan (pilihan) secara khusus,” ujar Ovan mengisahkan.
Hanya saja, kata Ovan, dari pendirian bulan Agustus itulah kemudian simbol Singo (Singa) muncul. "Agustus itu kan Leo atau Singo (sesuai dengan horoscop),"imbuh Ovan. Dari sinilah kemudian, Lucky dan, Ovan mulai mengotak-atik segala persiapan untuk mewujudkan obsesi berdirinya klub Galatama kebanggaan Malang.

Perjalanan Arema di Galatama

Di awal keikut sertaan di Kompetisi Galatama Ovan Tobing dan Lucky Acub Zaenal mulai bekerja keras mengurus segala tetek-bengek mulai pemain, tempat penampungan (mess pemain), lapangan sampai kostum mulai diplaning.Bahkan,gerilya mencari pemain yang dilakukan Ovan satu bulan sebelum Arema resmi didirikan.Pemain-pemain seperti Maryanto (Persema), Jonathan (Satria Malang), Kusnadi Kamaludin (Armada), Mahdi Haris (Arseto), Jamrawi dan Yohanes Geohera (Mitra Surabaya), sampai kiper Dony Latuperisa yang kala itu tengah menjalani skorsing PSSI karena kasus suap, direkrut. Pelatih sekualitas Sinyo Aliandoe, juga bergabung.
Hanya saja, masih ada kendala yakni menyangkut mess pemain. Beruntung, Lanud Bandar Udara Abdul Rachman Saleh mau membantu dan menyediakan barak prajurit Paskhas TNI AU untuk tempat penampungan pemain. Selain barak, lapangan Pagas Abd Saleh, juga dijadikan tempat berlatih. Praktis Maryanto dkk ditampung di barak. “TNI-AU memberikan andil yang besar pada Arema,” papar Ovan.
Sempat ada kendala, yakni masalah dana –masalah utama yang kelak terus membelit Arema. “Kalau memang tidak ada alternatif lain, ya papimu Luk yang harus mendanai,” jelas Ovan saat mengantarnya ke Bandara Juanda. Sepulang dari Jakarta, Acub Zaenal sepakat menjadi penyandang dana.
Prestasi klub Arema bisa dibilang seperti pasang surut, walaupun tak pernah menghuni papan bawah klasemen, hampir setiap musim kompetisi Galatama Arema F.C. tak pernah konstan di jajaran papan atas klasemen, namun demikian pada tahun 1992 Arema berhasil menjadi juara Galatama. Dengan modal pemain-pemain handal seperti Aji Santoso, Mecky Tata, Singgih Pitono, Jamrawi dan eks pelatih PSSI M Basri, Arema mampu mewujudkan mimpi masyarakat kota Malang menjadi juara kompetisi elit di Indonesia.